Ketika pergi negara asing dengan berbagai macam perbedaan mulai dari sosial, budaya, hingga mayoritas keyakinan, hal pertama yang terlintas sebagai umat beragama adalah bagaimana saya bisa beribadah di sana. Sebagai seorang Muslim yang taat beragama tentu saya memikirkan bagaimana saya bisa sholat disana. Hal itulah yang pertama kali terlintas ketika saya mendapatkan mandat untuk menghadiri Internasional Fisheries Symposium yang ketiga di Thailand pada medio akhir nopember 2013 lalu. Saya pergi kesana bersama rekan saya Daniel seorang Kristen yang taat, tapi kami sudah saling mengenal dan menghargai akan pentingnya toleransi beragama.
Kami memutuskan berangakat lebih awal daripada jadwal Symposium itu, hal ini kami lakukan karena mengejar harga tiket PP yang paling murah (Maklum lah kantong mahasiswa). Saya beruntung hari-hari awal ditampung oleh kenalan saya dari jember sehingga saya bisa menghemat pengeluaran untuk akomodasi. Hari pertama ketika Dhinasty menjemput kami ke bandara Swarnabhumi dia mengajak kami makan dan jalan-jalan di kawasan kampung melayu. Kami diantarkan untuk makan masakan yang terjamin kehalalannya serta ke sebuah masjid untuk saya agar bisa melaksanakan sholat (sesuatu yang sebelumnya tidak saya sangka akan ada masjid di sebuah kota dengan muslim hanya sebagai minoritas kecil). Selepas makan dan saya selesai sholat kami pun pergi menuju apartemennya untuk beristirahat, di dalam perjalanan Dhinasty bercerita akan tingginya toleransi beragama di Thailand dan betapa solidnya perkumpulan muslim disana. Sesuatu yang mungkin langka di Indonesia dengan mayoritas muslim namun hanyut pada kepentingan golongan masing-masing.
Dikarnakan Dhinasty tengah menempuh study di Rajamangala University jadi beliau tak bisa menemani kami jalan-jalan. Akhirnya kami pergi jalan-jalan dengan tujuan utama MBK (kalau di surabaya mungkin seperti Tunjungan Plasa lah), dalam perjalanan ditengah keterbatasan bahasa yang kami dan warga sekitar kuasai (yah, apa boleh buat mayoritas warga Thailand pun tak bisa berbahasa inggirs degan lancar) ketika kami menanyakan arah jalan mereka berusaha membantu, atau minimal mencarikan orang yang sanggup berbahasa inggris, sungguh ramah sekali mereka. Sejumlah jajanan di jalanan pun menggoda selera untuk di coba, namun para pedagang disanapun memperingatkan bahwa barang ini mengandung babi, dan Daniel pun mengecek ulang dan memperingatkanku akan adanya kandungan babi. Sungguh kejujuran yang dijunjung tinggi oleh pedagang dan pengertian dari Daniel, indahnya sebuah perbedaan.
Sesampainya di MBK, hal pertama yang saya tanyakan adalah tempat ibadah. Dan betapa terkejutnya saya ketika menemukan sebuah mushola di lantai tertinggi dan dalam kondisi kebersihan yang baik, berbeda cerita dengan di Indonesia dimana Mushola umumnya terletak di pojokan atau parkiran lantai terbawah dan dalam tingkat kebersihan yang buruk. Hal ini membuat saya berpikir, luar biasa disini meskipun bukan agama mayoritas tapi mereka menghargai kesakralan tempat ibadah dengan menjaga kebersihannya meskipun bukan tempat ibadah mereka.
sekembalinya kami ke apartemen Dhinasty bercerita bahwa sejumlah barang-barang yang ada di kamarnya merupakan pemberian dari komunitas muslim disana, dan hampir setiap seusai sholat di masjid ada pembagian makanan gratis. Hal yang mungkin jarang ditemui di Indonesia. Tingginya tingkat kebersamaan mereka dan rasa kekeluargan sesama muslim tanpa melihat latar belakang merupakan sesuatu yang layak dicontoh di Negara dengan Mayoritas Muslim ini.
~Artikel ini diterbitkan di Majalah Oase LMI(Lembaga Manajemen Infaq) No. 89| edisi Juli 2014, kolom Jelajah Halaman 25