Sebuah kata yang terdengar hampir sama bila terucap namun berbeda pemaknaannya. Legacy dapat diartikan warisan atau peninggalan, sementara delegasi adalah utusan yang biasanya bersifat personalia yang mengemban tanggung jawab. Pepatah berkata gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan loreng, dan manusia mati meninggalkan nama, mungkin nama yang dimaksud adalah sebuah peninggalan yang bercerita akan secuil kisah hidupnya baik maupun buruknya.
Peran personalia dalam komunitas dapat dianalisis dari kapasitasnya sebagai delegasi maupun legacy yang dia tinggalkan setelahnya. Kisah kali ini akan bercerita tentang bagaimana seorang bocah dari timur pulau jawa yang merantau ke kota metropolitan dan apa yang telah ia tinggalkan disana. Bagaimana ia membangun citra diri sampai dikenal dengan julukan legenda kampus atau sang pendobrak tabir.
Dia hanya seorang biasa, dengan penuh keluguan dan rendah diri yang berasal dari sekolah pinggiran kota di wilayah tapal kuda bagian timur pulau jawa. Restu Tuhan dan Orang tua yang membuatnya dapat diterima di salah satu kampus top di timur jawa dwipa. Datang sebagai atlet pemain kartu daerahnya, dan pensiunan dini atlet cabor akibat cedera parah tak ada yang akan menyangka kapasitasnya untuk menyesuaikan tempo tinggi pendidikan apalagi sampai mendobrak dan menginisiasi sebuah pergerakan.
Stigma yang wajar, mengingat dia terkenal sebagai tukang tidur di kelas atau terkenal karena dia kolaps di hari pertama pengenalan mahasiswa baru. Citra yang akan cukup sulit hilang tentunya, beberapa orang akan menganggapnya sebagai malu seumur hidupnya sementara baginya dia hanya menyadari keterbatasan kemampuannya. Tidak ada yang menyangka sebenarnya dia terlihat begitu lelah karena mengambil kuliah di Institusi Tetangga Sebelah karena tuntutan agar dia dapat menghidupi dirinya sendiri. Atau siapa yang sangka dia adalah wakil ketua unit kegiatan tingkat universitas (yang menjadi satu-satunya jabatan tertinggi kepengurusan inti yang dia pegang) sekaligus kepala departemen organisasi mahasiswa daerah di tahun pertamanya berada di “Kampung Metropolitan” ibukota provinsi jawa timur itu.
Tahun pertamanya kuliah dia sudah mendobrak stigma, tak perlu menunggu semester atas untuk berkarya dan menembus batas negara. Dia bersama dewi fortuna yang menghampirinya membawanya menuju suatu negara di asia timur, bersama tim yang terdiri dari barisan mahasiswa tingkat akhir dia pun pergi bersama seberkas makalah yang timnya tulis. Apakah perijinan Delegasi pertamanya ini mudah ?..
sebuah pertanyaan konyol karena para pejabat institusi justru berkata :
“ saya tidak peduli, itu kan urusanmu pribadi apa benefitnya dari institusi jika kami membantumu ?, memang situ bisa datangkan sponsor atau dana masuk ke kita, kalau tidak ya sudah.. sudah syukur kalian kami ijinkan membawa nama almamater, kalianlah yang punya tanggung jawab agar tidak memalukan mereka “.
Sebuah statment yang cukup menusuk seorang mahasiswa baru yang sedang berusahan untuk mengepakkan sayapnya kala itu.
Beruntung dukungan dari pejabat yang lebih tinggi dalam institusi (termasuk sedikit bantuan finansial) serta keluarga membuat dia dan tim akhirnya tetap berangkat jauh menembus batas untuk pertama kalinya ke asia timur itu. Mereka berhasil menyampaikan makalah yang mereka tulis pagi-siang-malam mengorbankan waktu libur dan istirahat disela rapatnya deadline laporan praktikum. Sebuah langkah awal sebagai delegasi sekaligus katalis awal tentang “legacy” yang ia tinggalkan di kampus jawa dwipa itu. Karena sejak itu batasan minimal semester untuk pertukaran pelajar maupun kegiatan luar negeri telah resmi dihapuskan dari regulasi yang ada sebelumnya.
Masih di tahun yang sama dia belum berhenti bergerak, ibarat mesin diesel yang mulai panas dia kembali siap mendobrak regulasi yang ada. Menggandeng rekan se”nganu”nya (yang dapat pergi ke negeri sakura tahun itu setelah regulasi berubah) mereka mempersiapkan makalah untuk berkelana menuju negeri gajah putih. Dan benar saja mereka lolos sebagai delegasi termuda disana (ketika yang lain mempresentasikan hasil penelitian akhir mereka atau project mereka). Status mereka masih diragukan bahkan dibilang ilegal, mereka tak didanai kampus tapi tetap berangkat dengan segala daya upaya untuk sekedar membuktikan kepada kampus mereka bahwa mereka sanggup dan mampu. Kurang pembiayaan tak membuat mereka habis akal, dikontaklah para komunitas disana serta disiapkan tenda demi tempat bernaung mereka nantinya.
dan tahukah apa yang dikatakan salah seorang oknum institusi kala itu ? x: “ kalian ini membuat malu diri kalian sendiri dan institusi saja !!, kalau kalian tidak mampu ya sudah jangan berangkat !!, tidak punya kok sok2an punya kompetensi !!! “.
Well you know gan ?, karya mereka sudah mendapat banyak tawaran publikasi pasca presentasi yang mereka lakukan. Stand expo mereka banjir pengunjung pertanyaan mulai bertanya detail mini riset mereka hingga tawaran untuk publikasi, dan tau kenapa ini tak terpublikasi , singkat cerita karena faktor dana dan tidak ada support dari kalian, karena mereka sadar diri kemampuan ekonomi mereka kala itu masih tidak sanggup mengcover ongkos review yang diluar budget mereka.
Bagi dia ini Delegasi kedua, sekaligus “legacy” kedua yang dia tinggalkan bagi kampusnya. Dimana setelah itu kampusnya rutin menyertakan mahasiswa yang dipilih atau pelaksana project penelitian untuk ikut dan mempresentasikan apa yang telah mereka tulis maupun lakukan. Kegiatan ini menjadi kegiatan rutin tahunan yang mulai tersponsori oleh pihak kampusnya dewasa ini.
Sepulangnya dari kegiatan bertenda ria sembari presentasi di Negeri Gajah Putih mereka kembali ke kampus dan menginisiasi kegiatan english club. Sebuah kegiatan yang sekarang telah diadopsi menjadi kegiatan rutin dibawah badan eksekutif mahasiswa kampusnya. English club ini juga salah satu “legacy” yang ia tinggalkan.
Apakah ia sudah puas dengan itu semua, belum.. ia sadar mengubah budaya memerlukan sebuah proses yang panjang kali lebar kali tinggi. Pada tahun berikutnya berbekal pengalamanya melalang buana ia dimandati memegang jabatan kunci pada sebuah acara internasional pertama kampusnya. Sebuah tantangan yang sesuatu sekali ketika mahasiswa dimandati sebagai penanggung jawab dan sejumlah civitas bahkan pejabat kampus sebagai anggotanya. Dia berhasil mempertanggung jawabkan semuanya dan mengkondisikan dengan tingkat kepuasan yang cukup tinggi dari para stakeholder penyelenggara yang harus dibayar mahal dengan cedera tangan kanannya.
Dalam posisi cedera layakknya kereta yang tengah melaju kencang, maka akan sulit menghadangnya. Dia masih terjun di lomba debat mewakili fakultasnya untuk bersaing ditingkat universitas. Namun dewi fortuna tak bersamanya kali ini, bertemu dengan fisip-fib-feb sebagai kekuatan tradisional debat di tingkat universitas yang dapat dilakukan dia bersama tim hanyalah mengimbangi mereka. Mereka tidak kalah telak ataupun menang, sehingga dengan nilai tiga kali seri mereka masih bercokol di papan tengah, bukan suatu yang memalukan mengingat siapa lawan mereka dan event pertama lomba debat yang mereka ikuti tanpa persiapan (menjadi event debat pertama dan terakhir yang mereka ikuti karena selanjutnya sudah ada kader yang melanjutkan untuk terjun di bidang ini).
Sebuah tantangan kembali datang kepada mereka, untuk menginisiasi kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di luar negeri. Berbekal tekad dan nekad mereka menyanggupi dengan segala kekurangan dan keterbatasan mereka mampu melaksanakan pilot project ini dengan baik dan meninggalkan impresi mendalam pada tempat mereka bekerja. Keberhasilan mereka menjadi delegasi dalam pilot project PKL luar negeri ini akhirnya menggugah pihak kampus untuk menjadikan agenda rutin tiap tahunnya. Sekarang dapat dilihat sejak pendelegasian mereka selalu ada delegasi baru yang diberangkatkan tiap tahunnya untuk melaksanakan PKL di luar negeri. Sebuah “legacy” yang menjadi regulasi dan dilaksanakan rutin tiap tahunnya.
Sepulang dari sana ia memilih untuk lebih aktif dan fokus di dunia kepenulisan ilmiah, walhasil jejak jelajah dan karyanya tersebar dari aceh hingga maluku dalam berbagai macam kegiatan kepenulisan yang ia lakukan. Beragam jenis kepenulisan dengan variasi tema ia lahap, dengan berbagai macam partner yang berbeda pada setiap eventnnya. Beragam penghargaan datang kepadanya, dan membuat kampus meminta salinan dari sertifikatnya. Menyadari nilai tawarnya ia tidak tinggal diam dan begitu saja patuh menyerahkan salinan berbagai piagam penghargaannya kepada kampus, mulailah ia tawar menawar dan hasilnya dapat dilihat sekarang. kampusnya kini memiliki anggaran spesifik yang dapat digunakan untuk delegasi kompetisi, setelah selama 2 tahun sebelumnya ia selalu ditolak untuk perijinan dan pendanaan.
“legacy” yang ia tinggalkan bukan sekedar mengubah regulasi tapi juga kader penerus delegasi, dapat dilihat setiap event berbeda partner yang ia bawa. Kini para partnernya juga meninggalkan sebuah catatan maupun memegang sejumlah jabatan kunci yang membuatnya masih dapat terlihat pengaruh yang ia tinggalkan. “legacy” darinya juga masih dapat dilihat di pulau sulawesi dimana ia berkali-kali datang memberikan sekedar materi atau bahan pembelajaran yang membuat keilmiahan kampus itu kini kembali ke papan atas percaturan kepenulisan di Indonesia. apa yang dia tinggalkan bukan sekedar dibidang kepenulisan saja, mikroplanning untuk organisasi mahasiswa daerah asalnya yang kini mulai terealisasi satu persatu juga buah kerja kerasnya ketika memegang mandat dulu, belum lagi pengaruhnya di bidang politik kampus yang mungkin dibawah layar tapi akan cukup terasa bagi mereka yang menyadari dan tau akan apa yang ia perjuangkan.
Sejumlah capaian selama menjadi delgasi serta “legacy” yang ia tinggalkan membuatnya menjadi semacam urban legend di kampus jawa dwipa. Hingga pada kelulusannya ia mendapatkan kursi VVIP untuk keluarganya dan meraih “berhala hitam” yang menjadi penanda akan capaian prestasi semasa kuliah. Tapi yang dia tinggalkan bukan sekedar capaian prestasi belaka, usaha kerasnya meninggalkan “legacy” yang masih terasa hingga sekarang dimana berkaitan dengan regulasi dan mengubah serta menginisasi kulitur kepenulisan serta peran aktif mahasiswa dilingkungan. Sejumlah karyanya juga sudah mulai terakusisi dan diterapkan menjadi progam kampus (aquaponik dan pengolahan rumput laut), dan ia sendiri masih terjun dan berusaha untuk menerapkan ide-ide yang pernah ia tulis dalam skala realisasi nyata agar bermanfaat bagi lingkungannya. sang pejuang itu telah kembali ke daerahnya membuka usaha sembari melanjutkan pendidikannya, maish aktif dalam beberapa project yang memberdayakan lingkungan serta di kewirausahaan. Peninggalannya di kampus jawa dwipa menjadi catatan bagi mereka yang ingin berjuang dan berusaha, semua mungkin atas ijin Yang Maha Kuasa.