
Ketika kamu jauh-jauh kuliah di salah satu (mungkin dua) kampus ternama. Jauh-jauh merantau ke ibukota provinsi (dan kota terpadat nomer 2 se Indonesia). setengah mati berjuang dari sekolah ‘pinggiran’ daerah (yang bahkan terkenal dengan siswa buangan sekolah favorit) untuk menuju kesana. Dan setelah lulus pulang kembali ke daerahmu ?, ada yang salah dengan itu ?, kamu sehat ?, apa ndak eman-eman perjuanganmu ?, dan berbagai pertanyaan serupa sering terngiang ditelingaku.
Berbagai nada sumbang pun mengiringi dengan pernyataan dari mereka yang ada di sekeliling seperti. ” rugi le kuliah adoh-adoh !”, ” lapo adoh-adoh kuliah lek ujunge mbalek nang daerah ! “, ” anak itu rugi ilmu dan waktu jauh-jauh ke luar kota !!”, berbagai statment serupa tapi tak sama terceletus dari lisan warga sekitar maupun sosok yang begitu saya hormati. Saya tekankan sekali lagi hidup itu soal pilihan dan saya siap mengambil sebuah pilihan itu.
Lubuk kecilku pun bermimpi, berkelana jauh (seperti yang sering kulakukan semasa kuliah dulu), menuntut ilmu untuk berbagi dengan yang membutuhkan (masih kulakukan dengan segala keterbatasan ilmu yang kupunya), memiliki status terpandang (ya, bekerja dalam rutinitas dan kepastian sempat terpikir juga dalam benak). Tapi ku kembalikan lagi, se-urgent itu kah mimpiku untuk dikejar ?. Hati kecil ini mulai berdebat dan lantunan doa padaNYA tak putus terucap sembari meminta petunjuk.
Jawaban itu hadir seiring bersandingnya Toga di akhir masa lima tahun masa kuliah (ya, saya mahasiswa legend yang overstudy). Orang tua dengan lembut dan penuh harap berkata, ” habis ini pulang dulu ya nak “. Seketika saya paham maksud implisit dari ini bukan berarti saya pulang ke rumah setelah wisuda, tapi sepenuhnya berpindah domisili kembali ke “RUMAH”. Seketika mimpi dan preparasi yang telah kutata rapi “terkesan sirna”. Hati kecilku bergolak dasyat, bersama pernyataan itu, dan itu semua hal yang wajar. “Berhala Hitam” yang menjadi rebutan setiap periode wisuda ada ditangganku sebagai gambaran usaha menuju mimpiku. Surat rekomendasi begitu dekat untuk kubilang ” ya, saya siap “, rencana kursus bahasa pun sudah tertata rapi didepan. tapi ya kembali lagi ” Saya Pulang Dulu “.
Mungkin ini juga jawaban doaku padaNYA, hingga perwakilannya di dunia memberi isyarat keras seperti itu. Semakin saya merenung, semakin saya sadari ” Restu Tuhan Bersama Restu Kedua Orang Tua “. Hal yang coba saya sadari bahwa memang ” Saya Harus Pulang “. Ayah tinggal menunggu waktu untuk purna tugas (dan tingkat kesibukan di Instansinya semakin menumpuk justru jelang purna tugas), Adikku tengah menempuh pendidikan tingginya, dan Ibu mungkin butuh suporting factor seperti melihat keluarganya utuh dan dapat dijumpainya atau butuh tempat berbagi keluh kesah yang tidak mungkin disampaikan pada khalayak asing. Semakin jauh merenung, semakin saya merasa ” memang saya harus pulang “.
Pada akhirnya saya memang memantapkan diri sembari meyakinkan diri “Saya Harus Pulang “. Saya pun tetap mengatur kembali ancang-ancang, menata ulang mimpi, mengubah mikroplanning 5 tahun kedepan, tapi tak mengapa. Kehidupan ini bukan soal mendapatkan semua yang kita inginkan, tapi soal kebermanfaatan. Kehadiranku di Rumah mungkin jauh lebih bermanfaat daripada ditempat lainnya. Bicara soal urusan KeTuhanan, Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Mungkin saya perlu pulang untuk melihat dan introspeksi lebih jauh mengenai kajian masa depan. mungkin saya memang jauh diperlukan di rumah, dan mungkin-mungkin dengan seribu satu kemungkinan yang Wallahu’alam.
Kalau ada yang bertanya, apa saja yang saya lalukan sejak memutuskan untuk pulang ?
Sederhana saja, saya sudah cukup umur untuk harus memiliki pemasukan, atau minimal memberikan kontribusi terhadap pemasukan total dikeluarga. Saya tak masalah dengan gelar Sarjana untuk keluar masuk kebun mencari stok dan berdagang buah, saya juga tidak masalah dengan status sarjana berada di wajan penggorengan. Karena Penjual Buah dan Warung merupakan pemasukan utama yang dapat saya andalkan untuk memberi sumbangsih pemasukan. Tentu saya punya harapan kedepannya usaha ini sepenuhnya mampu berjalan tanpa saya harus turun tiap sektornya, tapi sebagai awal memang saya harus paham setiap lini supaya paham betapa beratnya menjadi pekerja di setiap lini usaha ini.
Kegiatan lain yang berkaitan dengan hobi tulis-menulis, seperti Reviewer, Juri, Pemateri dan sejumlah yang serupa pun masih saya lakukan. Mulai membangun reputasi di tempat baru pun saya lakukan sembari mencari mitra dan kader untuk meneruskan perjuangan dan ideologis.
” Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi lingkungan sektiarnya “
” Karena Sebaik-baik anak adalah yang berbakti kepada orang tuanya ”
” Karena sebaik-baik umat adalah yang mematuhi aturanNYA “
semoga Tuhan memberkati ktia semua kawan, selamat menikmati pencarian arti kehidupan
Bahagia membacanya…….
dinikmati saja bagian dari perjalanan